Sebagai abdi masyarakat, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dituntut untuk selalu berkinerja secara prima, mampu berinovasi dan melayani masyarakat dengan maksimal. Salah satu cara untuk menjamin terwujudnya hal tersebut, adalah dengan rutin melaksanakan pengembangan kompetensi aparatur sipil negara.

Pengembangan Kompetensi

Kompetensi sendiri menurut Roe, sebagaimana dikutip dalam jurnal berjudul “Pengaruh Kompetensi Dan Pengembangan Karir Terhadap Kinerja Pegawai Koperasi Dan Ukm Kabupaten Konawe” karya Verawaty Ali, dkk., dijelaskan sebagai berikut: “Competence is defined as the ability to adequately perform a task, duty or role. Competence integrates knowledge, skills, personal values and attitudes. Competence builds on knowledge and skills and is acquired through work experience and learning by doing“.[1]

Roe menjelaskan bahwa “Kompetensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk melakukan tugas, tugas, atau peran secara memadai. Kompetensi mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai pribadi dan sikap. Kompetensi dibangun di atas pengetahuan dan keterampilan dan diperoleh melalui pengalaman kerja dan belajar sambil bekerja”.

Dari pengertian kompetensi tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pengembangan kompetensi adalah upaya untuk dapat mengembangkan kemampuan pegawai untuk dapat melaksanakan setiap tugas yang ada.

Kemampuan yang dikembangkan antara lain mulai dari pengetahuan, keahlian, nilai-nilai pribadi dan sikap.

Metode Pengembangan Kompetensi

Secara garis besar, pengembangan kompetensi pegawai dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan yaitu off the job dan on the job training.[2]

On the Job Training

Menurut Cherrington (1995), mengatakan bahwa metode on the job training cenderung berfokus pada pengembangan dan pelatihan jangka panjang. Metode on the job training dibagi menjadi 6 macam yaitu:

  1. Training instruksi pekerjaan (job instruction training). Diawali dengan memberikan penjelasan awal tentang tujuan suatu pekerjaan, dilanjutkan dengan menunjukkan langkah-langkah sesuai dengan tahapan pekerjaan. Hal yang perlu diperhatikan dalam metode ini adalah pelatihan ini memerlukan analisa kinerja pekerjaan secara teliti.
  2. Apprenticeship. Dalam bahasa Indonesia, diartikan sebagai magang. Pelatihan ini mengarah pada proses penerimaan karyawan baru, yang bekerja sama dan di bawah bimbingan praktisi yang ahli untuk beberapa waktu tertentu. Efektif atau tidaknya pelatihan model ini, terletak pada kemampuan praktisi yang ahli dalam mengawasi proses pelatihan.
  3. Internship dan Assistantships. Pelatihan ini hampir sama dengan pelatihan apprenticeship, tetapi mengarah pada kekosongan pekerjaan yang menuntut pendidikan formal yang lebih tinggi.
  4. Job rotation dan transfer. Pelatihan ini adalah proses belajar yang biasanya untuk mengisi kekosongan dalam manajemen dan teknikal.
  5. Junior boards dan Committee assignments. Pelatihan dengan memindahkan peserta pelatihan ke dalam komite untuk bertanggungjawab dalam pengambilan keputusan administrasi. Dan juga menempatkan peserta dalam anggota eksekutif agar memperoleh kesempatan dalam berinteraksi dengan eksekutif yang lain.
  6. Couching dan Counseling. Couching dan Counseling adalah bimbingan yang diberikan fasilitator atau atasan kepada bawahan yang bertindak sebagai coach mengenai berbagai hal yang terkait dengan pekerjaan. Pembimbingan adalah kombinasi observasi dengan pemberian arahan.

Off the Job Training

Metode off the job training adalah pengembangan pegawai di luar tempat kerja, yang pada umumnya dilakukan dalam bentuk pelatihan.

Pelatihan (training) merupakan proses sistematik pengubahan perilaku para pegawai dalam suatu arah guna meningkatkan tujuan – tujuan organisasi atau mempelajari sikap, kemampuan, keahlian, pengetahuan, dan perilaku yang spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan.

Menurut Cherrington (1995) menyebutkan bahwa metode Off the job training dibagi menjadi 13 (tiga belas) macam, yang di antaranya adalah:

  1. Independent self-study. Metode ini merupakan bentuk pelatihan yang mengharapkan peserta untuk melatih diri sendiri misalnya dengan membaca buku, mengambil kursus, dan mengikuti pertemuan profesional.
  2. Visual presentations. Pelatihan ini dilakukan dengan menggunakan televisi, film, video, atau presentasi dengan menggunakan slide, sebagai alat bantu.
  3. Case studies. Dalam metode ini, peserta dituntut untuk menemukan prinsip-prinsip dasar dengan menganalisis masalah yang ada.
  4. Role play. Peserta pelatihan harus dapat menyelesaikan permasalahan di mana peserta seolah-olah terlibat langsung.
  5. Simulation. Pelatihan yang menciptakan kondisi belajar yang sangat sesuai atau mirip dengan kondisi pekerjaan.

Referensi:

[1] Ali, V., Saranani, F., & Hermawati, A., (2019). Pengaruh Kompetensi Dan Pengembangan Karir Terhadap Kinerja Pegawai Koperasi Dan Ukm Kabupaten Konawe. Jurnal Ilmu Manajemen, Volume 5, Nomor 1.

[2] Fathurrochman, I., (2017). Pengembangan Kompetensi Pegawai Aparatur Sipil Negara (Asn) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Curup Melalui Metode Pendidikan Dan Pelatihan. STAIN: Pengembangan Kompetensi Pegawai Aparatur Sipil Negara.

*ttps://freepik.com (gambar)

Share:
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments