Penyederhanaan birokrasi merupakan salah satu isu hangat yang ada di Indonesia. Isu ini mulai sering dibahas hampir di seluruh tingkat pemerintahan sejak dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo, dalam pidato pertama pelantikan Presiden Dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode tahun 2019 lalu.

Kita sendiri tentu mengetahui bahwa birokrasi telah memiliki sejarah panjang. Teori-teori serta praktik birokrasi juga selalu berkembang seiring perkembangan zaman. Mulai dari birokrasi yang sering kali dicap ‘gemuk’ dan lamban, hingga saat ini sedang tenar istilah ‘pemangkasan birokrasi’.

Membahas tentang penyederhanaan birokrasi, tentu tidak akan lengkap bila tidak diawali dengan memahami terlebih dahulu apa itu birokrasi, serta bagaimana perkembangan teori-teori birokrasi yang telah dicetuskan oleh para ahli.

Pengertian Birokrasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, Birokrasi diartikan sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah yang berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan.[1]

Merujuk pada asal kata, birokrasi berasal dari kata “bureau” yang dalam bahasa Perancis berarti kantor atau meja tulis, dan kata “cratein” yang dalam bahasa Yunani berarti mengatur atau aturan.[2] Sehingga secara harfiah, birokrasi dapat dimaknai sebagai orang yang bekerja di meja dengan aturan yang ketat.

Istilah birokrasi tentu tidak akan jauh dengan istilah pemerintahan, mengingat salah satu tugas pemerintahan adalah untuk menetapkan suatu kebijakan.

Hal tersebut sejalan dengan pengertian birokrasi menurut Hague, Harrop & Breslin dalam Muhammad (2018) yang diartikan sebagai “organisasi yang terdiri dari aparat bergaji yang melaksanakan keputusan kebijakan”.

Dalam sumber yang sama, Beetham juga menjelaskan bahwa Birokrasi adalah “institusi yang berada pada sektor Negara, yang memiliki karakteristik adanya kewajiban, memiliki hubungan dengan hukum dan berhubungan dengan pertanggungjawaban kepada publik dalam menjalankan tugasnya.[3]

 

Teori Birokrasi Menurut Weber

Membahas tentang birokrasi, tentu akan kurang bila tidak membahasnya dari pandangan Weber. Mengingat Max Weber merupakan salah satu ahli yang banyak menuangkan pikirannya tentang birokrasi.

Dalam modul Birokrasi Indonesia[4], Ngadisah (2015) menyebutkan bahwa menurut Weber, Birokrasi adalah suatu badan administratif tentang pejabat yang diangkat, dan membentuk hubungan kolektif bagi golongan pejabat itu sebagai suatu kelompok tertentu yang berbeda, yang pekerjaan dan pengaruhnya dapat dilihat dalam organisasi tertentu, khususnya menurut prosedur pengangkatannya.

Weber, dalam sumber yang sama, menekankan perlunya legitimasi sebagai dasar sistem otoritas. Kelima legitimasi yang dikemukakan oleh Weber secara singkat adalah sebagai berikut:

  1. Bahwa dengan ditegakkannya peraturan (code) yang sah, maka akan dapat menuntuk kepatuhan dari para anggota organisasi tersebut. Peraturan tersebut akan berfungsi sebagai alat kontrak bagi organisasi, sehingga harus dipatuhi oleh semua anggota organisasi.
  2. Bahwa hukum merupakan suatu sistem aturan abstrak, yang diterapkan pada kasus-kasus tertentu, sedangkan administrasi mengurus kepentingan-kepentingan organisasi yang ada dalam batas-batas hukum. Setiap anggota organisasi yang tidak patuh dengan hukum akan mendapatkan sanksi, dan sanksi tersebut diterapkan secara berjenjang sesuai dengan tingkat kesalahannya.
  3. Bahwa manusia yang menjalankan otoritas juga mematuhi tatanan impersonal tersebut. Seluruh aturan yang ada dalam organisasi akan berlaku pada seluruh anggota organisasi tanpa terkecuali, sehingga dapat mencerminkan perlakuan yang adil bagi semua anggota organisasi.
  4. Bahwa tidak hanya qua member (anggota yang taat) yang benarbenar mematuhi hukum. Hal ini dimaksudkan bahwa agar semua anggota organisasi seharusnya menaati aturan hukum yang berlaku, dan tidak hanya sebagaian saja yang harus patuh.
  5. Bahwa kepatuhan itu seharusnya tidak kepada person yang memegang otoritas, melainkan kepada tatanan impersonal yang menjamin untuk menduduki jabatan itu. Hal ini penting agar semua anggota organisasi tunduk kepada aturan yang ada, dan bukan patuh karena seseorang yang menjadi atasannya.

Dalam teori-teorinya, Weber juga mengemukakan beberapa ciri-ciri birokrasi. Ciri-ciri birokrasi menurut Weber adalah sebagai berikut:

  1. Para anggota staf menjalankan tugas secara impersonal,
  2. Ada hierarki jabatan yang jelas,
  3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara rinci,
  4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak,
  5. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi profesional,
  6. Gaji diberikan atas dasar peraturan umum yang telah ditetapkan,
  7. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya,
  8. Terdapat jenjang karier, di mana promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan keunggulan (superior),
  9. Sering terjadi penempatan jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensinya, dan
  10. Tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam.

 

Penyederhanaan Birokrasi di Indonesia

Amanat Presiden Republik Indonesia

Sebagaimana telah saya sebutkan di atas, wacana penyederhanaan birokrasi di Indonesia kian booming sejak Pidato Presiden Joko Widodo pada awal masa jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2023.[5]

Sekurang-kurangnya terdapat 5 (lima) hal yang ingin dicapai oleh Presiden Jokowi dengan dibantu jajaran Menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 dalam periode pemerintahan Presiden Jokowi yang kedua ini. Kelima cita-cita tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Pembangunan SDM,
  2. Pembangunan infrastruktur,
  3. Penyederhanaan regulasi,
  4. Penyederhanaan birokrasi, dan
  5. Transformasi ekonomi.

Dalam konteks penyederhanaan birokrasi, Presiden menilai bahwa salah satu penyebab rendahnya investor yang mau berinvestasi di Indonesia adalah karena tahapan birokrasi yang harus dijalani dinilai terlalu ‘ribet’ dan berbelit-belit.

Untuk itu, Presiden Jokowi berharap birokrasi yang panjang harus dapat dipangkas. Tingkat eselonisasi yang saat ini dikenal terdapat 4 (empat) level mulai dari Eselon IV hingga Eselon I dinilai perlu disederhanakan menjadi cukup 2 (dua) level.

Penyederhanaan birokrasi tersebut, diharapkan akan dapat memotong prosedur yang panjang dalam berbagai urusan administrasi, terutama pada aspek investasi. Dengan demikian, diharapkan pula, investasi yang masuk ke Indonesia akan semakin besar, dan dapat berimbas positif pada penciptaan lapangan kerja.

Tantangan Penyederhanaan Birokrasi

Penyetaraan dalam jabatan fungsional merupakan salah satu konsekuensi logis penyederhanaan birokrasi. Restrukturisasi arsitektur menajemen sumber daya manusia perlu dilakukan untuk mengurangi tingkatan-tingkatan dalam birokrasi.

Dengan disetarakan dalam jabatan fungsional, diharapkan iklim birokrasi akan menjadi lebih dinamis dan profesional, mengingat salah satu fondasi dasar jabatan fungsional adalah melihat pada “keahlian”.

Namun demikian, penyetaraan dalam jabatan fungsional (dalam konteks tulisan ini dapat pula kita bahasakan sebagai penyederhanaan birokrasi) tidak selamanya berjalan dengan mulus.

Santoso dalam artikel “Penyetaraan Jabatan, Tantangan dan Hambatan Implementasi” [6], menyebutkan bahwa terdapat beberapa kendala atau tantangan dan permasalahan yang menyertai kebijakan penyetaraan jabatan fungsional, yang di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Terdapat perbedaan karakteristik jabatan administrasi dan jabatan fungsional. Tentu hal ini akan berdampak cukup signifikan, mengingat jumlah eselon dalam jabatan administrasi cukup banyak yang harus disetarakan dalam jabatna fungsional sebagai dampak penyederhanaan birokrasi. Perbedaan pola kerja antara jabatan administrasi dan jabatan fungsional dinilai akan cukup dapat menghambat pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat.
  2. Penyetaraan jabatan memengaruhi peta jabatan. Dalam pengalokasian pegawai, sudah tentu akan dibutuhkan penyusunan Analisis Jabatan (Anjab), Analisis Beban Kerja (ABK) dan Peta Jabatan. Sehingga dengan adanya penyetaraan jabatan, yang berarti adanya perubahan dari jabatan administrasi ke jabatan struktural, tentu akan membutuhkan perubahan-perubahan pada kelengkapan administrasi tersebut.

 

Referensi:

[1] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/birokrasi

[2] Sakti, Fajar Tri. Morfologi Birokrasi. Cetakan pertama, 1 (1). Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan Press, Bandung/west java. ISBN 978-6239-234-18-8

[3] Muhammad. 2018. BIROKRASI (Kajian Konsep, Teori menuju Good Governance). Lhokseumawe: UNIMAL Press.

[4] Ngadisah. 2015. Modul Birokrasi Indonesia (Edisi 3). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka

[5] https://jeo.kompas.com/naskah-lengkap-pidato-presiden-joko-widodo-dalam-pelantikan-periode-2019-2024

[6] https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/penyetaraan-jabatan-tantangan-dan-hambatan-implementasi

*ttps://freepik.com (gambar)

Bagikan:
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments