Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah Lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Salah satu tugas utama BPK adalah untuk memberikan opini atas laporan keuangan pemerintah dan instansi yang mengelola keuangan negara.
BPK dibentuk berdasarkan Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan sebagai tindak lanjut dari pada pasal 23 ayat (5) UUD 1945, yang memuat amanat: “Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang“.[1]
Sebelumnya, dalam artikel Perbedaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kita telah membahas tentang perbedaan antara BPK dan BPKP, di mana mungkin beberapa dari kita belum begitu memahami bahwa keduanya sangat berbeda. Dalam pembahasan ini, kita akan mengulik sedikit tentang apa yang menjadi kewenangan BPK serta kriteria dan opini apa yang diberikan oleh BPK dalam menilai kewajaran Laporan Keuangan Pemerintah.
Tugas dan Wewenang BPK dalam Memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah
Merujuk pada Pasal 6 ayat (1) UU 15/2006, BPK memiliki tugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
Lebih lanjut disebutkan dalam ayat (3), dalam menjalankan tugas tersebut, pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Pemeriksaan keuangan memiliki tujuan untuk memberikan keyakinan terhadap laporan keuangan yang di buat oleh instansi pemerintah telah disajikan secara wajar. Sisi kewajaran dalam laporan keuangan tersebut meliputi semua hal yang secara material sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam keuangan negara Indonesia atau basis akuntansi yang umum di luar prinsip akuntansi yang berlaku umum dalam keuangan negara di Indonesia.
Mengapa keuangan menjadi perhatian penting dan harus dikelola secara baik oleh seluruh instansi pemerintahan dan badan usaha milik pemerintah?
Hal ini disebabkan karena keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[2]
Kriteria Kewajaran Laporan Keuangan Pemerintah
Sebagai hasil pemeriksaan keuangan yang dilaksanakan, BPK mengeluarkan opini atas laporan keuangan. Opini BPK merupakan pernyataan atau pendapat profesional BPK yang merupakan kesimpulan pemeriksa mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.[3]
Opini BPK tersebut diberikan berdasarkan pada kriteria antara lain:
- Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintahan;
- Kecukupan pengungkapan (adequate disclosures);
- Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan; dan
- Efektivitas Sistem Pengendalian Intern (SPI).
Kesesuaian Dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP)
Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) merupakan prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan jenis laporan keuangan pemerintah yang terdiri atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Saat ini, Standar Akuntansi Pemerintahan yang berlaku di Indonesia ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Dalam konteks pemeriksaan keuangan negara, menurut Sinaga sebagaimana dikutip oleh Rizaldy dalam artikel Analisis Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) Berbasis Akrual (Accrual Basis) Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010 (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Malang), Standar Akuntansi Pemerintahan merupakan pedoman auditor untuk menyatukan persepsi antara, penyusun, pengguna dan pelaporan. Seluruh instansi pemerintahan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah wajib menyajikan pelaporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi yang telah ditetapkan.
Kecukupan Pengungkapan (Adequate Disclosures)
Laporan Keuangan yang disusun harus memiliki kecukupan pengungkapan. Suwardjono dalam Iqbal, dkk (2018) mendefinisikan pengungkapan laporan keuangan menjadi dua konteks, yaitu konseptual dan teknis.
Secara konseptual, pengungkapan merupakan bagian integral dalam laporan keuangan, yang artinya laporan keuangan harus dapat menjelaskan segala hal tentang kinerja keuangan suatu instansi pemerintah. Sedangkan secara teknis, penyusunan pengungkapan merupakan langkah akhir dalam proses akuntansi yaitu penyajian informasi dalam bentuk seperangkat penuh penyajian pelaporan keuangan. Pengungkapan penyajian laporan keuangan ditentukan oleh informasi yang bersifat material.
Konsep materialitas ini sangat penting karena dapat menunjukkan seberapa besar salah saji yang dapat diterima (dalam rentang toleransi) auditor agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut di mana erat kaitannya dengan konsep risiko audit.
Dalam pelaksanaan pemeriksaan atau audit atas laporan keuangan, seorang auditor tidak dapat memberikan jaminan kepada klien atau pihak lain, bahwa laporan keuangan audit adalah Akurat (ketepatan semua informasi yang disajikan dalam laporan keuangan). Dalam hal tersebut, maka audit atas laporan keuangan hanya memberikan keyakinan bahwa :
- Jumlah yang disajikan pada laporan keuangan beserta pengungkapannya telah dicatat, di ringkas, digolongkan serta di komplikasi;
- Telah mengumpulkan bukti audit yang kompeten di mana cukup sebagai dasar yang memadai untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan auditan;
- Laporan keuangan sebagai keseluruhan telah disajikan secara wajar dan tidak terdapat salah saji material karena kekeliruan serta kecurangan.
Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan
Kepatuhan atas peraturan perundang-undangan merupakan satu hal yang wajib dalam penyusunan laporan keuangan. Sebagai contoh kepatuhan atas Standar Akuntansi Pemerintah yang diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, sebagai acuan yang wajib dilaksanakan pada laporan keuangan entitas pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Peraturan Pemerintah tersebut menjadi landasan dan harus dipatuhi oleh semua entitas laporan termasuk pemerintah daerah dalam menyajikan laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban terhadap semua pihak.
Fatimah, dkk (2014) turut menjelaskan bahwa Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan disebutkan sebagai salah satu faktor yang dipertanyakan dari diterbitkannya laporan keuangan sektor publik. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan tercermin dari tindakan ilegal yang terjadi atau ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditemukan. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dapat menyebabkan salah saji material dari informasi dalam laporan keuangan atau data keuangan lain yang secara signifikan terkait dengan tujuan pemeriksaan.
Dalam sumber lain, Lestari (2020: 41) menyebutkan bahwa setiap instansi pemerintah sebagai entitas pelaporan harus patuh terhadap peraturan karena dampak ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dapat mengakibatkan beberapa hal sebagai berikut:
- Temuan kerugian negara/daerah atau kerugian negara/daerah yang terjadi pada perusahaan milik negara/daerah dalam mengungkap permasalahan yang berkurangnya kekayaan negara/daerah atau perusahaan milik negara/daerah berupa uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
- Temuan potensi kerugian negara/daerah atau kerugian negara/daerah yang terjadi pada perusahaan milik negara/daerah dalam mengungkapkan adanya sebuah perbuatan melawan hukum baik disengaja maupun lalai yang dapat mengakibatkan risiko terjadinya kerugian dimasa yang akan datang berupa berkurangnya surat berharga, kas serta aset nyata dan pasti jumlahnya.
- Temuan kekurangan penerimaan negara/daerah atau perusahaan milik negara/daerah yang mengungkapkan adanya penerimaan yang seharusnya menjadi hak negara/daerah atau perusahaan milik negara/daerah tetapi tidak atau belum masuk ke kas negara/daerah atau perusahaan milik negara/daerah karena adanya unsur ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Temuan administrasi yang mengungkapkan adanya penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku baik dalam pelaksanaan anggaran atau pengelolaan aset serta operasional perusahaan, tetapi penyimpangan tersebut tidak mengakibatkan kerugian atau potensi kerugian negara, daerah atau perusahaan milik negara/daerah, tidak mengurangi hak negara/daerah, kekurangan penerimaan, tidak menghambat program entitas serta tidak mengandung unsur indikasi tindak pidana.
- Temuan Indikasi Tindak Pidana mengungkapkan adanya perbuatan sebagai praduga di mana memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan diancam dengan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan.
Efektivitas Sistem Pengendalian Intern
Menurut Institut Akuntan Publik Indonesia, Sistem Pengendalian Intern atau SPI merupakan sebuah proses yang harus dikerjakan dewan komisaris, manajemen data dan entitas lain yang didesain untuk memberikan keyakinan yang memadai dalam pencapaian keandalan pelaporan keuangan, efektivitas dan efisiensi operasi dan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
Sejalan dengan hal tersebut, International Organization of Supreme Audit Institutions, menyatakan pengendalian intern merupakan suatu proses integral yang dipengaruhi oleh manajemen dan pegawai, yang dirancang untuk menghadapi risiko-risiko dan memberikan keyakinan yang memadai untuk mencapai misi dengan mencapai tujuan-tujuan umum, antara lain:
- Melakukan kegiatan dengan tertib, etis, ekonomis, efisien dan efektif
- Menyajikan laporan keuangan yang akurat dan handal
- Menaati ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
- Mengendalikan sumber daya dari kehidupan, penyalahgunaan dan kerusakan aset.
Sistem Pengendalian Internal Pemerintah di Indonesia mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Peraturan tentang SPIP tersebut merupakan adopsi dari The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commissions (COSO) Internal Control Framework dengan dilakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik pemerintahan di Indonesia.
SPIP sebagaimana diatur dalam PP 60/2008 tersebut bersifat integrated dan merupakan suatu proses yang terus menerus dilakukan oleh Instansi Pemerintah serta bersifat dinamis dan mengikuti seiring dengan perkembangan jaman. Unsur-unsur sistem pengendalian intern berdasarkan COSO antara lain meliputi:
- Lingkungan Pengendalian;
- Penilaian Risiko;
- Kegiatan Pengendalian;
- Informasi dan Komunikasi; serta
- Pemantauan. [4]
4 (empat) Jenis Opini yang diberikan oleh BPK RI atas Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah
Pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh BPK pada akhirnya akan menghasilkan opini. Opini dari hasil pemeriksaan keuangan merupakan pernyataan profesional dari pemeriksa yang didapat dari data dan fakta hasil pemeriksaan, khususnya mengenai tingkat kewajaran informasi keuangan yang telah disajikan dalam laporan keuangan. Pemberian opini oleh BPK didasarkan pada kriteria-kriteria sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu:
- kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan,
- kecukupan pengungkapan (adequate disclosures),
- kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan
- efektivitas sistem pengendalian intern.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, sebagaimana dikutip dari laman resmi Badan Pemeriksa Keuangan (https://www.bpk.go.id/news/ragam-opini-bpk), terdapat 4 (empat) jenis Opini yang diberikan oleh BPK RI atas Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah. Keempat opini tersebut adalah sebagai berikut:
Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Unqualified Opinion
Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Unqualified Opinion adalah opini yang menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa, menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
Menurut Usmansyah dalam buku “Mengenal Opini Auditor” sebagaimana dikutip oleh Yos Johan Utama dalam Modul Hukum Pengelolaan Keuangan Negara, opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Unqualified Opinion diberikan sebagai hasil pemeriksaan keuangan, apabila dalam pemeriksaan keuangan yang dilakukan terhadap penyelenggara keuangan didapati hal-hal berikut:
- Bukti audit yang dibutuhkan telah terkumpul secara mencukupi dan auditor telah menjalankan tugasnya sedemikian rupa sehingga dapat memastikan bahwa ketiga standar pelaksanaan kerja lapangan telah ditaati.
- Ketiga standar umum telah diikuti sepenuhnya dalam perikatan kerja.
- Laporan keuangan yang diaudit disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang lazim dan yang berlaku di Indonesia. Hal ini diterapkan pula secara konsisten pada laporan-Iaporan sebelumnya. Demikian pula penjelasan yang mencukupi telah disertakan pada catatan kaki dan bagian-bagian lain dari laporan keuangan.
Tidak terdapat ketidakpastian yang cukup berarti (no material uncertainties) mengenai perkembangan di masa mendatang dan yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya atau dipecahkan secara memuaskan.
Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau Qualified Opinion
Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atau Qualified Opinion adalah opini menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas entitas tersebut sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia, kecuali untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan.
Opini WDP diberikan sebagai hasil pemeriksaan keuangan dalam hal pemeriksa menemukan ada satu lebih penyelenggaraan keuangan yang tidak atau belum memenuhi standar pengelolaan keuangan yang baik. Opini WDP dapat pula dipahami sebagai kondisi saat penyelenggaraan keuangan memiliki satu kekeliruan, tetapi kekeliruan tersebut tidak menimbulkan dampak yang bersifat material.
Lestari (2020: 44) menambahkan bahwa dalam opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) berarti ada pengecualian dampak hal-hal untuk komponen-komponen tertentu, misalnya :
- Laporan Keuangan sebagian kecil (tidak material) disusun tidak memenuhi standar akuntansi keuangan yang berlaku,
- Ruang lingkup pemeriksaan dibatasi.
Opini Tidak Wajar Atau Adversed Opinion
Opini Tidak Wajar Atau Adversed Opinion merupakan opini BPK yang menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.
Opini Tidak Wajar mengindikasikan terdapat banyak sekali pelanggaran dan kesalahan dalam penyelenggaraan keuangan sehingga mengakibatkan laporan keuangan yang dihasilkan tidak memberikan gambaran yang benar.
Pernyataan Menolak Memberikan Opini (Disclaimer Of Opinion) Atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP)
Pernyataan Menolak Memberikan Opini (Disclaimer Of Opinion) atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP), merupakan opini BPK yang menyatakan bahwa Auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan apabila lingkup audit yang dilaksanakan tidak cukup untuk membuat suatu opini.
Opini ini dapat dikatakan sebagai opini terburuk atas kinerja penyelenggaraan keuangan, yang diberikan bukan karena banyaknya kesalahan atau sebaliknya, tetapi karena penyelenggara keuangan negara tidak dapat memberikan bukti-bukti yang dibutuhkan pemeriksa (auditor) untuk bisa menyimpulkan dan menyatakan apakah laporan keuangan yang dibuat penyelenggara keuangan negara tersebut sudah disajikan dengan benar atau salah.
Pernyataan menolak memberikan opini atau disclaimer disebabkan karena pihak penyelenggara keuangan negara dalam membuat laporan keuangan ataupun bukti-buktinya tidak dilakukan dengan memenuhi kelaziman penatausahaan laporan keuangan di Indonesia. Sehingga para auditor tidak mempunyai kemampuan untuk merumuskan laporan hasil pemeriksaan, mengingat instrumen atau dokumen yang ada tidak dikenali oleh sistem yang dipakai auditor. (Diya Erni/Dani Suluh)
Referensi:
https://www.bpk.go.id/news/ragam-opini-bpk
Analisis Opini BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (Studi Kasus pada Kabupaten X di Jawa Timur) oleh Ramya Atyata diakses melalui laman: https://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/viewFile/310/257
Analisis Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) Berbasis Akrual (Accrual Basis) Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010 (Studi Kasus Pada Pemerintah Kota Malang) oleh Mohammad Fachmi Rizaldy, diakses melalui laman: https://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/download/4037/3572
Apakah Kecukupan Pengungkapan telah Dipertimbangkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dalam Perumusan Opini? Oleh Mohammad Iqbal, Gudono dan Irwan Taufiq Ritonga, diakses melalui laman: https://jurnal.ugm.ac.id/jaap/article/download/35329/20871
Pengaruh Sistem Pengendalian Intern, Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-Undangan, Opini Audit Tahun Sebelumnya Dan Umur Pemerintah Daerah Terhadap Penerimaan Opini Wajar Tanpa Pengecualian Pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Di Seluruh Indonesia oleh Desi Fatimah, Ria Nelly Sari & M. Rasuli, diakses melalui laman: https://ja.ejournal.unri.ac.id/index.php/JA/article/download/2531/2487
[1] https://web.bpk.go.id/Pages/Dasar-Hukum.aspx
[2] Konsideran atau pertimbangan yang menjadi dasar dalam penetapan Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
[3] https://sumbar.bpk.go.id/apa-itu-opini-bpk/
[4] Penjelasan Ramya Atyata dalam Analisis Opini BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (Studi Kasus pada Kabupaten X di Jawa Timur)